Senin, 16 September 2019

Kurang Bersyukur


Kurang Bersyukur

🍁🍁 🍁

"Ayah ..., tapi Runa mau HP baru," ucapku sembari menatap Ibu dan Ayah.

"Run, kamu kira cari duit semudah pungut daun!" seru Ayah sarkasme.

Tak ada gunanya aku memberontak, sudah kuyakini pria paruh baya itu tidak akan bisa memenuhi keinginanku. Dia begitu keras, tak tersentuh.

Terkadang aku ingin pergi saja dari dunia ini, mengapa semesta begitu mempersulit kehidupanku. Lahir dari keluarga yang ekonomi dibawah rata-rata. Wajar jika aku tak bersyukur, tak mengapa miskin harta asalkan mendapat kasih sayang dari kedua orang tua.

Namun, realita seakan menamparku, tak pernah kurasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku, ingin beli ini-itu tak pernah terkabul, sementara adikku selalu dipenuhi keinginannya, dibelikan mainan, baju dan lain sebagainya.

Hari ini aku ke sekolah dengan tidak semangat, sekarang bukan lagi jamannya memakai HP tombol, semua teman-teman memakai Android, punya kamera depan. Kualitas oke. Lah, punyaku hanya bisa dipakai sms-an dan teleponan.

"Runa, udah ada Hp baru, Ndak?" tanya Pinkan--teman sebangkuku.

Gelengan kecil sebagai jawabanku, kumemilih membaringkan kepalaku dengan berbantal tangan.

"Sabar ajah, Run. Ntar kalau Ayah kamu ada duit pasti dikasih, deh." Pinkan berusaha menghiburku.

Saat jam istirahat, teman-teman asyik dengan HP masing-masing, ada yang dengan riang selfi-selfi, ada pula yang asyik main facebook-an. Termasuk Pinkan, tak ada yang memperdulikanku, mengajak ngobrol pun tak ada.

"Wah Alisa, HPmu bagus sekali!" seru salah satu teman sekelas.

"Baru lagi, yah. Lis?"

"Iyyadong, Papiku tuh apa-apa yang aku minta pasti dikasih," jawab Alisa dengan bangganya.

Kumemilih keluar kelas, rasanya dadaku terbakar melihat keberuntungan Alisa, semua barang-barangnya mewah, serba keluaran terbaru, sudah pasti dia sangat disayangi orang tuanya.

Terik matahari begitu sangar membakar kulit, andaikan punya motor bisa cepat sampai di rumah, tapi apalah daya membeli HP pun orang tuaku tak sanggup. Sungguh semesta, mengapa memberiku kehidupan seperti ini? Jika hanya ingin menyiksa akan lebih baik aku tidak lahir di dunia yang fana ini.

Saat sampai di rumah aku segera masuk ke dalam, kulihat Ibu yang sedang menjahit pakaian, dari orang-orang.

"Runa sayang, sudah pulang, Nak." Ibu tersenyum, hanya kubalas senyum yang dipaksakan. Lalu aku masuk ke kamar melepas seragam.

"Runa, makan dulu, Nak." Ibu kembali bersuara. Dengan lesuh aku keluar menuju meja makan.

"Telur lagi, Bu?" tanyaku tak suka.

Kulihat wajah Ibu tersenyum. "Ia, Nak. Ayah kamu belum gajian, jadi kita makan seadanya saja," jawab Ibu.

Sungguh pedih rasanya, bergulir-gulir waktu yang dilewati lidah ini rasanya kelu, jika harus memakan hal serupa setiap hari.

"Runa masih kenyang, Bu." Aku langsung masuk ke kamar.

Hingga munculnya rembulan, aku tak pernah sekalipun keluar kamar, muak saja rasanya keluar melihat mereka semua. Kesal, kecewa, tapi tak tahu harus kulampiaskan pada siapa? Menyalahkan takdir pun, sia-sia karena hal tersebut tak akan mendadak membuat hidupku lebih baik.

"Runa!"

Suara Ayah membuatku terkejut, begitulah dia tak bisa memanggil tanpa harus dengan suara keras, aku butuh dilembutin bukan seperti ini. Sudah kuyakini bahwa benar-benar Ayah tak pernah menyayangiku.

Aku keluar kamar dengan wajah ditekuk. "Kenapa?"

"Sini kita makan malam bareng, yuk." Ajak Ayah. Bahkan untuk mengajak pun tak ada lembut-lembutnya, wajahnya selalu datar.

"Runa tidak lapar!" jawabku ketus.

"Runa! Tak bisa kah kau menghargai apa yang sudah disiapkan Ibumu?"

Kuyakini Ayah sangat marah, matanya melotot seolah ingin keluar dari kelopak matanya, rahangnya mengeras.

"Ayah! Runa capek. Hidup seperti ini, makan itu-itu terus, setiap keinginan Runa tak pernah Ayah kabulkan. Jika tak mampu menafkahi untuk apa aku dibuat dan dilahirkan di keluarga yang seperti ini!"

Pakkk

Kututup pintu kamarku dengan sangat keras. Air mataku luruh begitu saja. Biarlah jika dianggap anak durhaka, aku lelah jika begini terus, aku lelah hidup di keluarga ini. Lelah berdiam memendam semua sesak yang ingin mengudara.

🍁 🍁 🍁

Sejak kejadian malam itu, Ayah mendiamkanku tak pernah lagi menyuruhku makan, bahkan sekadar berbasa-basi pun tak pernah. Jarang juga kutemui Ayah. Paginya dia sudah berangkat kerja, lalu sampai aku tidur tak kuliahat Ayah pulang. Apakah kata-kataku semenyakitkan itu? Jujur kurasakan hal aneh saat Ayah tak mengajak berbicara.

Karena hari ini  minggu jelas seluruh sekolah diliburkan, aku memilih berjalan-jalan di desa tercinta ini.

"Runa, mau ke mana?" tanya Pak Maulana--sahabat Ayah. Sekaligus tokoh agama di desaku.

"Enggak ada, Pak. Runa cuman jalan-jalan," jawabku ramah.

"Bisa ... Bapak bicara sama kamu, Nak."

"Iya, Pak silakan."

"Ikuti saya sambil jalan kita cerita." Aku hanya mengangguk.

Hingga sepuluh menit berlalu tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari Pak Maulana. Hingga akhirnya kita sampai ke sebuah empang yang luas, milik orang terkaya di desa ini.

"Ngapain kita ke sini, Pak?" tanyaku

"Runa, kamu sangat beruntung memiliki seorang Ayah seperti, Subekti." Bukannya menjawab Pak Maulana malah memberiku sebuah wejangan. Aku hanya diam mendengarnya.

Kami berjalan di pinggiran empang entah mau ke mana Pak Maulana.

"Bapak kenapa berbicara seperti ini?" tanyaku.

"Nanti kamu akan tahu jawabannya." Pak Maulana terus berjalan dengan aku yang mengikuti dari belakang.

"Duduk di sini," kata Pak Maulana.

Kami duduk di sebuah gasebo dengan atap seng putih. Bau amis langsung menusuk indera penciumanku, angin begitu kencang.

"Lihat orang yang ada di hadapanmu," kata Pak Maulana lagi.

Kutatap begitu banyak pekerja di hadapan karena memang empang di sini begitu luas dan banyak petakan. Mataku fokus ke satu pria paruh baya. Sungguh sosoknya amat kukenali. Dia terlihat dipapah oleh salah satu temannya.

Kakiku lemas seketika, kulihat raut kesakitan dari wajah Ayah, ada apa dengan Ayah? Ingin kuhampiri, tapi kaki ini tak mau diajak kompromi, seolah susah untuk berpijak.

Ayah berada di pinggiran empang. Tak jauh dariku, tapi dia sepertinya belum menyadari kehadiranku.

"Ayahmu, pernah bercerita kemarin dulu, dia merasa amat sedih, karena tak bisa menjadi kepala keluarga yang baik." Pak Maulana kembali berbicara.

Aku terdiam tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, seolah tenggorokan tercekal, aku hanya menatap pria yang tak jauh dari hadapan.

"Pak Subekti ... 'kan, kaki Bapak belum sembuh kenapa masih kerja ajah, sih." Teman Ayah terlihat gusar melihat keadaan Ayah.

"Saya harus menafkahi keluarga saya, Pak. Saya merasa tidak bertanggungjawab tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, terlebih anak gadis saya sudah remaja beranjak dewasa butuh fasilitas banyak. Layaknya anak lainnya." Ayah mencuci kakinya yang sudah perban, tapi sekarang perban itu penuh lumpur, dan terlepas dari kaki Ayah. Tak lagi menutup luka.

Dada sesak akibat tertahan ingin mengeluarkan tangis yang amat pilu, begitu besar perjuangan Ayah, lalu selama ini yang kulakukan? Betapa berdosanya aku.

Terdiam kutatap Ayahku di tepi empang sana, menangis batin melihatnya bekerja banting tulang. Bahkan cinta Ayah padaku sangatlah besar, tapi aku ... selalu meragukan rasa cintanya, mengabaikan setiap perintahnya, seolah aku menjadi batu yang berat untuk disuruh.

"Hampiri Ayahmu, Nak. Jangan sampai iri hati, dengki menguasai hati nuranimu sehingga membuatmu menutup semua kebaikan kedua orangtuamu, Nak." Seolah kekuatan, kata-kata Pak Maulana, membuat Kakiku yang sedari tadi mati rasa, kini perlahan bisa kupijakkan.

"Ayah!" kupanggil Ayah. yang penuh keringat.

"Runa! Kamu ngapain di sini?" terlihat Ayah kaget melihatku.

Kuhampiri Ayah tak kugubris pertanyaannya, kubantu Ayah untuk naik ke pinggiran, dan membantu Ayah berjalan menuju gasebo tempatku duduk tadi.

"Ayah kakinya kenapa?" kutatap nanar kaki Ayah. Sekarang jelas terlihat sobekan di kaki itu.

"Biasa, Run. Kena kayu yang runcing, waktu panen di empang sebelah," jawab Ayah.

🍁 🍁 🍁

Sekarang kami berada di rumah, Ayah masih ingin melanjutkan bekerja, tapi kularang pemilik empang juga sudah memberi Ayah izin untuk beberapa hari tak masuk kerja, sampai luka Ayah tertutup.

Aku berlutut di bawah kaki Ayah, sungguh merasa amat berdosa dengan semua perilakuku, selalu saja memandang dari satu sisi tak melihat perjuangan Ayah untukku, untuk keluarganya.

"Ayah, maafkan Runa." Mohonku.

Ibu mengusap lembut puncuk kepalaku, Ibu sama sepertiku berderai air mata haru.

"Runa janji enggak akan meminta HP baru lagi, meminta apa pun lagi." Kembali kulontarkan kata sesal.

"Runa, kamu berhak meminta apa pun pada Ayah. Karena itu sudah tugasku sebagai kepala keluarga," jawab Ayah. Kutatap mata yang selalu menatap tajam, tapi sebenarnya tersirat rasa kasih sayang yang tak pernah kulihat secara kasat mata.

"Maafkan Runa. Ibu, Ayah."

"Ibu memaafkan, Nak." Ibu memelukku erat. Lalu kurasakan tangan kekar Ayah juga memeluk kami. Adikku sudah tidur sejak tadi selesai Isya. Aku merupakan anak sulung di keluarga ini, adikku baru berusia setahun.

🍁 🍁 🍁

Saat jam istirahat kulihat Alisa yang sedang duduk sendiri di dalam kelas, tumben sekali dia tak keluar bersama teman-teman se-gengnya. Kusadari wajahnya sembab, seolah habis menangis. Apa yang dia tangiskan? Hidupnya sempurna sekali, apa pun keinginannya selalu terkabul.

"Lis, kenapa enggak keluar?" tanyaku basa basi.

Dia menatapku, dengan jelas kulihat mata sebabnya.

"Kamu habis nangis, Lis?" aku duduk di bangku di sampingnya. Dia hanya menganguk.

"Kenapa, Lis? Cerita ajah." Aku menatapnya. Seolah memberinya kekuatan.

"Run, Ayahku ...." Alisa menggantung kalimatnya.

"Cerita ajah, Lis."

"Ayahku, lelaki yang selalu kupercayai. Lelaki yang sangat dicintai Ibuku. Ternyata  selama ini mempunyai simpanan," kata Alisa. Dia terisak. Segera kurengkuh tubuh ramping itu, menyalurkan kekuatan.

"Ayah sangat jarang berada di rumah, dengan dalih urusan bisnis di luar kota, ternyata  dia punya istri hasil pernikahan sirih, yang paling membuatku sakit. Dia juga memiliki anak tak jauh dari umurku, jadi selama bertahun-tahun dia telah menghianati kami." Alisa kembali bercerita.

Saat mendengar cerita Alisa membuatku sadar akan sesuatu, aku selalu iri padanya, mengeluh kepada kedua orang tuaku karena tak bisa membuatku hidup seperti Alisa, tapi kenyataannya Alisa memang kaya akan materi, tapi sangat miskin kasih sayang dari Ayahnya. Karena harus menjadi kepala keluarga di dua keluarga.

Memang benar terkadang hidup yang kita jalani begitu banyak orang yang ingin berada di posisi kita saat ini, seperti Alisa ternyata sangat ingin seperti diriku. Mempunyai seorang Ayah yang sangat hebat.

Yah, aku bangga menjadi anak Ayah. Yang selalu berusaha memenuhi setiap kebutuhan walaupun tak bisa langsung sekejap, perlahan tapi pasti Ayah akan mengabulkan keinginan keluarganya.

Yang kurang dalam diri ini adalah bersyukur aku terlalu sibuk melihat kehidupan orang lain, sampai lupa bersyukur serta menghargai setiap tetes keringat kedua orangtuaku yang membesarkanku, hingga sampai seperti ini, memberi makan, memberi tempat untuk berteduh, memberi perlindungan.

End

Cerpen di atas saya persembahkan untuk Ayahanda--Bustang. Beliau sesosok pria yang selalu membuat keluarganya tertawa dengan segala tingkah lakunya. Walaupun tak pernah menunjukan secara langsung kasih sayangnya, tapi kuyakini Ayah sangat menyayangiku--menyayangi keluarganya. Aku bangga menjadi anak Ayah.

Dan juga untuk para Ayah di luaran sana kalian sangat hebat di mata Putri anda.



Salam manis dari Peri yang manisnya bikin diabetes akut stadium akhir. Plak! Pede bat anda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar