Garis Hidup
___
Sungguh aku sangat tidak menyangka jika ketetapan ini diperuntukkan kepada seorang gadis sepertiku, katanya Tuhan tidak akan menguji seseorang melebihi batas kemampuannya. Namun, mengapa saat ini aku merasa amat rapuh, berpijak di bumi ini rasanya tak mampu.
Mengapa semesta senang mempermainkan perasaan, andai bisa memilih aku tak ingin membiarkan hatiku jatuh. Jatuh pada lubang kesakitan, ternyata rasa suka cita yang kurasakan adalah awal dari kehancuran terhebat yang akan kutuai.
Aku menatap diri di cermin, sungguh aku sangat cantik, balutan gaun pengantin yang sangat indah serta hiasan yang senada dengan gaya serta warna gaun yang kukenakan sangat serasi. Namun, tampilan diriku tak sebaik isi hatiku.
Pintu terbuka, menampilkan sesosok pria jakung, pria yang membuatku cinta dan jatuh pada lubang kesakitan. Ia menatapku lekat-lekat. Mau apa dia? Menit berikutnya dia berkedip dan tersenyum. Hah, sekian lama baru kali ini aku melihatnya tersenyum padaku. Lima tahun ... Lima tahun aku menunggu di mana dia akan tersenyum padaku. Harusnya aku bahagia bukan? Tetapi kenapa rasanya ada yang menggerogoti hatiku, kenapa rasanya perih?
Ah sial! Aku rapuh. Butiran bening lolos begitu saja saja membasahi pipiku. Semoga foundation yang kugunakan adalah foundation mahal agar make up ku tidak luntur.
"Kau menangis?" tanya pria yang sudah berada tepat di hadapnku. Aroma yang sangat kuhafal menusuk indera penciumanku.
Bodoh sekali, jelas aku menangis. Untuk apa datang ke sini? Mau semakin menoreh luka pada hatiku?
Perlahan tangannya menyentuh kepalaku. Ia tersenyum, lagi-lagi membuat hatiku berdenyut nyeri. "Kamu sangat cantik, Lis." Tak pernah pudar senyumannya. Harusnya aku bahagia bukan? Ini pertama kali ia berperilaku manis, biasanya dia akan memasang benteng agar aku tak masuk ke hatinya. Namun, membiarkanku masuk ke kehidupannya.
Aku hanya terdiam, menunduk menahan isak tangis yang hendak keluar. Rasanya aku ingin berteriak pada dunia. Mengapa aku harus jatuh cinta pada pria brengsek yang ada di hadapanku.
"Beberapa jam lagi kau akan sah menjadi milik Wangsah, Lis. Aku turut senang untuk itu." Kembali ia berucap, tetapi tak pernah kugubris, bukan tidak ingin. Hanya saja rasanya suaraku hilang entah ke mana, tenggorokanku tercekat.
Aku berusaha untuk mendongak, menatap matanya. Aku sungguh membenci pria yang ada di hadapanku. Sungguh, benci dan cinta.
"Kam-- kamu, apa tak pernah sedikit pun ada rasa cinta kepadaku sedikit pun?" Akhirnya hanya ini yang berhasil diucapkan bibirku. Ia terdiam, mengalihkan tatapan.
"Lis. Kamu ingat waktu kita terkunci di lab Ipa?" Kenapa dia malah bertanya balik? Meskipun itu kejadian tiga tahun lalu, jelas aku mengingatnya. Karena setiap momen yang kulalui bersamanya entah itu buruk, baik akak selalu kuingat.
"Aku akan mengakui, sebenarnya kuncinya itu tidak hilang, sengaja aku mengunci dari dalam dan membuangnya melalui ventilasi. Maaf, sudah membuatmu terjebak bersamaku." Ia tertawa, apa yang lucu?
"Ingat ban sepedamu kempes? Sekali lagi maaf. Aku sengaja melakukannya. Agar ...." Ia berhenti berbicara, tertunduk seolah tenggorokannya tercekat. "Lis ... A--aku mencintaimu." Apa ini? Bukankah harusnya aku bahagia, karena cintaku terbalas. Namun, mengapa aku justru merasa sakit.
Kurasakan Vino memelukku erat sangat erat. Dan kurasakan ia bergetar. Apa Vino menangis?
___
Akhirnya aku dan Wansah sah menjadi pasangan suami istri. Semua orang terlihat bahagia, tapi kenapa aku malah sangat sedih. Aku mencari keberadaan Vino, perasaan tadi dia tak jauh dari sini. Lucu, yah seseorang yang kutunggu selama lima tahun akhirnya mengakui cintanya di hari pernikahanku. Mengapa tidak ada rasa bahagia yang menggelora di hatiku. Bukankah hari pernikahan adalah hari bahagia bagi setiap pengantin, bukankah saat orang yang dicintai membalas perasaan kita harusnya bahagia? Mengapa aku merasakan sakit yang teramat hingga rasanya ingin mati.
"Sepertinya Vino sudah pulang. Kalau dia yang kau cari, Lis." Wangsah seolah menjawab pertanyaanku. Mungkin melihatku celingak celinguk melihat para tamu.
"Aku tidak mencari Vino," kilahku. Sedikit dingin, ah bukan aku memang selalu dingin terhadap lelaki yang sudah sah menjadi suamiku ini. Padahal dia sangat baik sejak dulu, mengapa hatiku sangat bodoh. Menyukai pria brengsek dan mengabaikan pria berhati malaikat seperti Wangsah?
____
Mengapa semesta senang mempermainkanku?
Aku membuka amplop yang katanya berisi surat. Dari pemilik gundukan tanah yang ada di hadapanku. Di nisan itu tertulis nama Vino Aditya Putra. Sakit sekali. Aku tidak mengapa tidak berjodoh dengan Vino, tapi asalkan dia masih berada di dunia ini.
Aku membaca isi surat itu, jelas sekali itu tulisan tangan Vino. Aku sangat mengenalinya.
Dear, Alisa
Surat ini kutulis sebelum pernikahanmu dengan Wangsah. Kuharap kamu bisa mencintai Wangsah melebihi cintaku kepadaku, dia pria yang baik Lis. Tak pernah sedikit pun aku meragukan cintamu, Lis. Kuharap kamu bisa mencintai Wangsah melebihi kau mencintaiku.
Aku ... Sangat kecewa, Lis pada semesta. Mengapa kita dibuat saling mencinta, tetapi tak bisa disatukan. Aku lebih dulu mencintaimu, Lis. Namun, sebesar apa pun cintaku padamu tak akan bisa membuat kita bersama.
Sekarang aku merasa sudah saatnya aku bertemu dengan orang tuaku di keabadian, Lis. Aku takut sekaligus senang. Senang bisa bertemu dengan orang yang kucintai, tapi takut, takut tak bisa bersamamu lagi. Namun, sekarang aku tak takut lagi. Karena aku yakin kau akan bahagia bersama lelaki pilihan takdir.
Bahagialah, Lis. Jangan terlalu menangisiku. Aku akan semakin sakit jika kau menangis karena aku.
Salam, Vino.
Bodoh kenapa melarangku menangis? Ini air mataku. Rasanya duniaku hancur, bisakah aku ikut bersamamu, Vino?
"Akhggg!" Aku hancur. Perlahan kurasakan ada tangan yang mendekapku erat. Sudah jelas itu suamiku, ia tak bersuara, membiarkanku menangis dalam dekapannya.
____
"Sejak kapan?" Tanyaku pada Wangsah.
"Aku juga tidak tahu, Lis. Yang jelasnya di hari pernikahan kita adalah hari harusnya dia di operasi. Namun, dia menunda. Dan sepertinya dia memang sudah tahu akan pergi. Dia tidak mau dioperasi meskipun ada 50% ia bisa hidup. Namun, ia menolak dan menahan sakitnya hingga ia benar-benar pergi."
"Aku tidak akan memintamu menghapus nama Vino di hatimu, Lis. Cukup kamu mengizinkanku mencintaimu itu sudah cukup." Wangsah tersenyum. Aku hanya diam.
Berusaha menerima garis tangan yang telah ditentukan sang Pencipta. Berusaha menata kembali hidupku, tak seharusnya, kan aku berlari-larut dalam kepedihan. Namun, itu sulit.
Salam Manis 🍯
Tertanda
____________
Peri Tiga Detik
Februari, 220221