Senin, 16 September 2019

Kurang Bersyukur


Kurang Bersyukur

🍁🍁 🍁

"Ayah ..., tapi Runa mau HP baru," ucapku sembari menatap Ibu dan Ayah.

"Run, kamu kira cari duit semudah pungut daun!" seru Ayah sarkasme.

Tak ada gunanya aku memberontak, sudah kuyakini pria paruh baya itu tidak akan bisa memenuhi keinginanku. Dia begitu keras, tak tersentuh.

Terkadang aku ingin pergi saja dari dunia ini, mengapa semesta begitu mempersulit kehidupanku. Lahir dari keluarga yang ekonomi dibawah rata-rata. Wajar jika aku tak bersyukur, tak mengapa miskin harta asalkan mendapat kasih sayang dari kedua orang tua.

Namun, realita seakan menamparku, tak pernah kurasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku, ingin beli ini-itu tak pernah terkabul, sementara adikku selalu dipenuhi keinginannya, dibelikan mainan, baju dan lain sebagainya.

Hari ini aku ke sekolah dengan tidak semangat, sekarang bukan lagi jamannya memakai HP tombol, semua teman-teman memakai Android, punya kamera depan. Kualitas oke. Lah, punyaku hanya bisa dipakai sms-an dan teleponan.

"Runa, udah ada Hp baru, Ndak?" tanya Pinkan--teman sebangkuku.

Gelengan kecil sebagai jawabanku, kumemilih membaringkan kepalaku dengan berbantal tangan.

"Sabar ajah, Run. Ntar kalau Ayah kamu ada duit pasti dikasih, deh." Pinkan berusaha menghiburku.

Saat jam istirahat, teman-teman asyik dengan HP masing-masing, ada yang dengan riang selfi-selfi, ada pula yang asyik main facebook-an. Termasuk Pinkan, tak ada yang memperdulikanku, mengajak ngobrol pun tak ada.

"Wah Alisa, HPmu bagus sekali!" seru salah satu teman sekelas.

"Baru lagi, yah. Lis?"

"Iyyadong, Papiku tuh apa-apa yang aku minta pasti dikasih," jawab Alisa dengan bangganya.

Kumemilih keluar kelas, rasanya dadaku terbakar melihat keberuntungan Alisa, semua barang-barangnya mewah, serba keluaran terbaru, sudah pasti dia sangat disayangi orang tuanya.

Terik matahari begitu sangar membakar kulit, andaikan punya motor bisa cepat sampai di rumah, tapi apalah daya membeli HP pun orang tuaku tak sanggup. Sungguh semesta, mengapa memberiku kehidupan seperti ini? Jika hanya ingin menyiksa akan lebih baik aku tidak lahir di dunia yang fana ini.

Saat sampai di rumah aku segera masuk ke dalam, kulihat Ibu yang sedang menjahit pakaian, dari orang-orang.

"Runa sayang, sudah pulang, Nak." Ibu tersenyum, hanya kubalas senyum yang dipaksakan. Lalu aku masuk ke kamar melepas seragam.

"Runa, makan dulu, Nak." Ibu kembali bersuara. Dengan lesuh aku keluar menuju meja makan.

"Telur lagi, Bu?" tanyaku tak suka.

Kulihat wajah Ibu tersenyum. "Ia, Nak. Ayah kamu belum gajian, jadi kita makan seadanya saja," jawab Ibu.

Sungguh pedih rasanya, bergulir-gulir waktu yang dilewati lidah ini rasanya kelu, jika harus memakan hal serupa setiap hari.

"Runa masih kenyang, Bu." Aku langsung masuk ke kamar.

Hingga munculnya rembulan, aku tak pernah sekalipun keluar kamar, muak saja rasanya keluar melihat mereka semua. Kesal, kecewa, tapi tak tahu harus kulampiaskan pada siapa? Menyalahkan takdir pun, sia-sia karena hal tersebut tak akan mendadak membuat hidupku lebih baik.

"Runa!"

Suara Ayah membuatku terkejut, begitulah dia tak bisa memanggil tanpa harus dengan suara keras, aku butuh dilembutin bukan seperti ini. Sudah kuyakini bahwa benar-benar Ayah tak pernah menyayangiku.

Aku keluar kamar dengan wajah ditekuk. "Kenapa?"

"Sini kita makan malam bareng, yuk." Ajak Ayah. Bahkan untuk mengajak pun tak ada lembut-lembutnya, wajahnya selalu datar.

"Runa tidak lapar!" jawabku ketus.

"Runa! Tak bisa kah kau menghargai apa yang sudah disiapkan Ibumu?"

Kuyakini Ayah sangat marah, matanya melotot seolah ingin keluar dari kelopak matanya, rahangnya mengeras.

"Ayah! Runa capek. Hidup seperti ini, makan itu-itu terus, setiap keinginan Runa tak pernah Ayah kabulkan. Jika tak mampu menafkahi untuk apa aku dibuat dan dilahirkan di keluarga yang seperti ini!"

Pakkk

Kututup pintu kamarku dengan sangat keras. Air mataku luruh begitu saja. Biarlah jika dianggap anak durhaka, aku lelah jika begini terus, aku lelah hidup di keluarga ini. Lelah berdiam memendam semua sesak yang ingin mengudara.

🍁 🍁 🍁

Sejak kejadian malam itu, Ayah mendiamkanku tak pernah lagi menyuruhku makan, bahkan sekadar berbasa-basi pun tak pernah. Jarang juga kutemui Ayah. Paginya dia sudah berangkat kerja, lalu sampai aku tidur tak kuliahat Ayah pulang. Apakah kata-kataku semenyakitkan itu? Jujur kurasakan hal aneh saat Ayah tak mengajak berbicara.

Karena hari ini  minggu jelas seluruh sekolah diliburkan, aku memilih berjalan-jalan di desa tercinta ini.

"Runa, mau ke mana?" tanya Pak Maulana--sahabat Ayah. Sekaligus tokoh agama di desaku.

"Enggak ada, Pak. Runa cuman jalan-jalan," jawabku ramah.

"Bisa ... Bapak bicara sama kamu, Nak."

"Iya, Pak silakan."

"Ikuti saya sambil jalan kita cerita." Aku hanya mengangguk.

Hingga sepuluh menit berlalu tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari Pak Maulana. Hingga akhirnya kita sampai ke sebuah empang yang luas, milik orang terkaya di desa ini.

"Ngapain kita ke sini, Pak?" tanyaku

"Runa, kamu sangat beruntung memiliki seorang Ayah seperti, Subekti." Bukannya menjawab Pak Maulana malah memberiku sebuah wejangan. Aku hanya diam mendengarnya.

Kami berjalan di pinggiran empang entah mau ke mana Pak Maulana.

"Bapak kenapa berbicara seperti ini?" tanyaku.

"Nanti kamu akan tahu jawabannya." Pak Maulana terus berjalan dengan aku yang mengikuti dari belakang.

"Duduk di sini," kata Pak Maulana.

Kami duduk di sebuah gasebo dengan atap seng putih. Bau amis langsung menusuk indera penciumanku, angin begitu kencang.

"Lihat orang yang ada di hadapanmu," kata Pak Maulana lagi.

Kutatap begitu banyak pekerja di hadapan karena memang empang di sini begitu luas dan banyak petakan. Mataku fokus ke satu pria paruh baya. Sungguh sosoknya amat kukenali. Dia terlihat dipapah oleh salah satu temannya.

Kakiku lemas seketika, kulihat raut kesakitan dari wajah Ayah, ada apa dengan Ayah? Ingin kuhampiri, tapi kaki ini tak mau diajak kompromi, seolah susah untuk berpijak.

Ayah berada di pinggiran empang. Tak jauh dariku, tapi dia sepertinya belum menyadari kehadiranku.

"Ayahmu, pernah bercerita kemarin dulu, dia merasa amat sedih, karena tak bisa menjadi kepala keluarga yang baik." Pak Maulana kembali berbicara.

Aku terdiam tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, seolah tenggorokan tercekal, aku hanya menatap pria yang tak jauh dari hadapan.

"Pak Subekti ... 'kan, kaki Bapak belum sembuh kenapa masih kerja ajah, sih." Teman Ayah terlihat gusar melihat keadaan Ayah.

"Saya harus menafkahi keluarga saya, Pak. Saya merasa tidak bertanggungjawab tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, terlebih anak gadis saya sudah remaja beranjak dewasa butuh fasilitas banyak. Layaknya anak lainnya." Ayah mencuci kakinya yang sudah perban, tapi sekarang perban itu penuh lumpur, dan terlepas dari kaki Ayah. Tak lagi menutup luka.

Dada sesak akibat tertahan ingin mengeluarkan tangis yang amat pilu, begitu besar perjuangan Ayah, lalu selama ini yang kulakukan? Betapa berdosanya aku.

Terdiam kutatap Ayahku di tepi empang sana, menangis batin melihatnya bekerja banting tulang. Bahkan cinta Ayah padaku sangatlah besar, tapi aku ... selalu meragukan rasa cintanya, mengabaikan setiap perintahnya, seolah aku menjadi batu yang berat untuk disuruh.

"Hampiri Ayahmu, Nak. Jangan sampai iri hati, dengki menguasai hati nuranimu sehingga membuatmu menutup semua kebaikan kedua orangtuamu, Nak." Seolah kekuatan, kata-kata Pak Maulana, membuat Kakiku yang sedari tadi mati rasa, kini perlahan bisa kupijakkan.

"Ayah!" kupanggil Ayah. yang penuh keringat.

"Runa! Kamu ngapain di sini?" terlihat Ayah kaget melihatku.

Kuhampiri Ayah tak kugubris pertanyaannya, kubantu Ayah untuk naik ke pinggiran, dan membantu Ayah berjalan menuju gasebo tempatku duduk tadi.

"Ayah kakinya kenapa?" kutatap nanar kaki Ayah. Sekarang jelas terlihat sobekan di kaki itu.

"Biasa, Run. Kena kayu yang runcing, waktu panen di empang sebelah," jawab Ayah.

🍁 🍁 🍁

Sekarang kami berada di rumah, Ayah masih ingin melanjutkan bekerja, tapi kularang pemilik empang juga sudah memberi Ayah izin untuk beberapa hari tak masuk kerja, sampai luka Ayah tertutup.

Aku berlutut di bawah kaki Ayah, sungguh merasa amat berdosa dengan semua perilakuku, selalu saja memandang dari satu sisi tak melihat perjuangan Ayah untukku, untuk keluarganya.

"Ayah, maafkan Runa." Mohonku.

Ibu mengusap lembut puncuk kepalaku, Ibu sama sepertiku berderai air mata haru.

"Runa janji enggak akan meminta HP baru lagi, meminta apa pun lagi." Kembali kulontarkan kata sesal.

"Runa, kamu berhak meminta apa pun pada Ayah. Karena itu sudah tugasku sebagai kepala keluarga," jawab Ayah. Kutatap mata yang selalu menatap tajam, tapi sebenarnya tersirat rasa kasih sayang yang tak pernah kulihat secara kasat mata.

"Maafkan Runa. Ibu, Ayah."

"Ibu memaafkan, Nak." Ibu memelukku erat. Lalu kurasakan tangan kekar Ayah juga memeluk kami. Adikku sudah tidur sejak tadi selesai Isya. Aku merupakan anak sulung di keluarga ini, adikku baru berusia setahun.

🍁 🍁 🍁

Saat jam istirahat kulihat Alisa yang sedang duduk sendiri di dalam kelas, tumben sekali dia tak keluar bersama teman-teman se-gengnya. Kusadari wajahnya sembab, seolah habis menangis. Apa yang dia tangiskan? Hidupnya sempurna sekali, apa pun keinginannya selalu terkabul.

"Lis, kenapa enggak keluar?" tanyaku basa basi.

Dia menatapku, dengan jelas kulihat mata sebabnya.

"Kamu habis nangis, Lis?" aku duduk di bangku di sampingnya. Dia hanya menganguk.

"Kenapa, Lis? Cerita ajah." Aku menatapnya. Seolah memberinya kekuatan.

"Run, Ayahku ...." Alisa menggantung kalimatnya.

"Cerita ajah, Lis."

"Ayahku, lelaki yang selalu kupercayai. Lelaki yang sangat dicintai Ibuku. Ternyata  selama ini mempunyai simpanan," kata Alisa. Dia terisak. Segera kurengkuh tubuh ramping itu, menyalurkan kekuatan.

"Ayah sangat jarang berada di rumah, dengan dalih urusan bisnis di luar kota, ternyata  dia punya istri hasil pernikahan sirih, yang paling membuatku sakit. Dia juga memiliki anak tak jauh dari umurku, jadi selama bertahun-tahun dia telah menghianati kami." Alisa kembali bercerita.

Saat mendengar cerita Alisa membuatku sadar akan sesuatu, aku selalu iri padanya, mengeluh kepada kedua orang tuaku karena tak bisa membuatku hidup seperti Alisa, tapi kenyataannya Alisa memang kaya akan materi, tapi sangat miskin kasih sayang dari Ayahnya. Karena harus menjadi kepala keluarga di dua keluarga.

Memang benar terkadang hidup yang kita jalani begitu banyak orang yang ingin berada di posisi kita saat ini, seperti Alisa ternyata sangat ingin seperti diriku. Mempunyai seorang Ayah yang sangat hebat.

Yah, aku bangga menjadi anak Ayah. Yang selalu berusaha memenuhi setiap kebutuhan walaupun tak bisa langsung sekejap, perlahan tapi pasti Ayah akan mengabulkan keinginan keluarganya.

Yang kurang dalam diri ini adalah bersyukur aku terlalu sibuk melihat kehidupan orang lain, sampai lupa bersyukur serta menghargai setiap tetes keringat kedua orangtuaku yang membesarkanku, hingga sampai seperti ini, memberi makan, memberi tempat untuk berteduh, memberi perlindungan.

End

Cerpen di atas saya persembahkan untuk Ayahanda--Bustang. Beliau sesosok pria yang selalu membuat keluarganya tertawa dengan segala tingkah lakunya. Walaupun tak pernah menunjukan secara langsung kasih sayangnya, tapi kuyakini Ayah sangat menyayangiku--menyayangi keluarganya. Aku bangga menjadi anak Ayah.

Dan juga untuk para Ayah di luaran sana kalian sangat hebat di mata Putri anda.



Salam manis dari Peri yang manisnya bikin diabetes akut stadium akhir. Plak! Pede bat anda!

Sabtu, 15 Juni 2019

Puisi

si pengecut!

pengecut!
Tawa ria menghiasi
Sunggingan selalu nampak

Pengecut!
Tak bisa mengakui kalau dilanda gulana
Bersembunyi di balik topeng
Tak bisakah buka topeng?

Biarkan ada yang tau
Kau sedang tak baik-baik saja
Biarkan orang tau
Kau bisa sedih juga

Pengecut!
Akuilah bahwa kau kesepian
Akuilah bahwa kau sedang sakit

Apa sulitnya mengaku?
Kau juga manusia
Tak mungkin tak punya rasa kecewa

                          Aku tak bisa
                          Sungguh, tak ingin
                          Jika aku ikutan terpuruk
                          Siapa yang akan    

                          menghibur orang lain?

Bodoh! Kau pengecut!
Memikirkan orang lain
Pikirkan juga dirimu
Kau juga berhak bahagia!

Ruang sepi, 150619

Senin, 18 Februari 2019

Ilmu sejarah keren

    Assalamualaikum wr. wb 

Hai-hai apa kabar semua? Semoga sehat selalu.
Jadi perkenalkan nama saya  Rahasia 😂 panggil aja MinLee.

MinLee hanya ingin menceritakan sedikit pengalaman MinLee dan pasti ada hubungannya dengan jurusan ilmu sejarah yang selalu di rendahkan oleh orang-orang

   "Mau jadi apa setelah wisuda nanti?"

    "jurusan yang gak pernah move on"

    "bla bla bla....."

Banyak sekali komentar - komentar buruk yang keluar dari mulut-mulut netizen yang maha benar. Jadi di sini MinLee sebagai mahasiswa jurusan ilmu sejarah akan menjelaskan tentang jurusan ilmu sejarah yang sesungguhnya.

Mengapa saya kasi judul Ilmu sejarah keren? Yaudah baca aja sampai bawah ya, nanti juga akan tau sendiri mengapa saya menuliskan judul tersebut. Mimin hanya akan bercerita sedikit.

      Jadi, apa alasan Mimin milih jurusan ilmu sejarah? Ya, Mimin termotivasi dari guru sejarah SMA Mimin. Saya sangat kagum terhadap beliau yang mengetahui banyak hal. Karena fakta nya ilmu sejarah merupakan bapak dari segala ilmu coba sebutkan pelajaran apa saja yang tidak memiliki sejarah? Jurusan apa saja yang tidak memiliki sejarah? Semua punya sejarah dan mahasiswa ilmu sejarah mempelajari semua bidang ilmu. Keren 'kan? Oke lanjut ke cerita, jadi dulu waktu SMA jam mata pelajaran sejarah sangat kurang karena hanya 45 menit dalam seminggu, jadi hanya tau sampul nya saja karena memang waktu SMA saya anak Ipa etss ... pasti heran 'kan? Anak Ipa kok kuliah jurusan sejarah .... Hehe itu sudah jalan dari sang pencipta. Saat SMA memang waktu bingung-bingungnya nentuhin jurusan pas SBMPTN (seleksi Bersama  masuk perguruan tinggi negri) memang sih gak ada prodi ilmu sejarah yang aku pilih, aku milih Saintek, namun takdir berkata lain aku gak lolos dan aku berniat ikut jalur mandiri karena udah nyoba Saintek yaudah aku milih lintas minat aja akhirnya aku milih shosum yang memang sangat minim ilmu pelajaran tersebut, dan di situlah aku memilih jurusan ilmu sejarah dan alhamdulillah lolos. Memang di awal ada sedikit rasa penyesalan karena mendengar ocehan - ocehan netizen yang maha benar itu. Aku merasa rendah, tapi aku yakin mungkin ini yang terbaik dari Allah. Makanya aku mencoba menjalani nya dan setelah ada pertemuan antar senior Junior entah mengapa aku merasa sangat nyaman dengan jurusan ini, dengan mata Kuliahnya. Dan di situlah aku menarik kesimpulan dan menyatakan sejarah itu KEREN.

   Tidak mungkin suatu jurusan diadakan kalo tak punya tujuan. Jadi intinya setiap jurusan itu bagus, setiap jurusan itu pasti dibutuhkan dilapangan pekerjaan tergantung bagaimana orang tersebut berproses dan menggunakan ilmunya.

Bagi kamu yang suka traveling cocok banget masuk ke jurusan ini. Karena apa? Karena jurusan ini sering banget keluar daerah untuk meneliti peninggalan-peninggalan bersejarah. Keren bukan? Jelas dong keren.

Oke sampai di sini dulu pertemuan kita jika takdir menginginkan pasti kita bertemu kembali. Plak! Ngomong apasih Mimin😂





Kamis, 14 Februari 2019

Danu dan Ayam hutan

Oleh : Peri tiga detik
Judul : danu dan Ayam hutan

Suatu pagi seorang anak laki-laki yang berusia 10 tahun sedang berjalan menuju hutan mencari kayu bakar untuk dijualnya
Begitulah kegiatan sehari-hari Danu, dari desa yang terpencil itu. Danu merupakan anak yang baik hati, berbakti kepada orang tua, dan senang menolong.
Kebanyakan anak seusianya hanya menghabiskan waktu untuk bermain-main ria bersama teman-teman lain berbeda dengan Danu yang sehari-harinya digunakan untuk mencari nafkah.

Semenjak kepergian Ayah Danu menghadap sang pencipta, satu tahun yang lalu. Danu menjadi tulang punggung keluarganya, Danu mempunyai seorang adik perempuan yang cantik jelita berusia 8 tahun dan Ibu Danu  yang bernama Sumina  yang menjual kayu yang Danu ambil di hutan.

Danu memasuki hutan yang lebat itu dan mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya.
"Tolong!"
"Tolong!"

Danu menghentikan langkahnya

"Seperti ada yang meminta tolong," ucap Danu

Danu menatap sekeliling hutan yang lebat itu mencari-cari keberadaan yang meminta tolong tersebut, namun Danu tak menemukan sesiapa.
"Ah, mungkin perasaanku saja."
Danu berjalan kembali menyusuri hutan lebat itu.

"Tolong!"
Suara itu menghentikan kembali langkah Danu, Danu menajamkan pendengarannya.
"Tolong!"
"Suara itu sepertinya di balik semak-semak itu deh," ucap Danu lalu berjalan ke kiri yang ada semak-semak.

"Tolong!"
Dan betapa terkejutnya Danu saat melihat seekor ayam jantan yang mengeluarkan suara.
"Ka ... Kamu!"
"Tolong saya,".
Danu melotot tajam melihat ayam itu, yang kakinya terikat sepertinya itu jebakan manusia yang sedang berburu binatang yang ada di hutan tersebut.
Danu mendekati ayam itu, "Kamu bisa berbicara?"

"Iyya, tolong selamatkan saya."

"Ba ... Baiklah,"
Danu berusaha melepas ikatan tali yang melilit kaki kiri Ayam itu.
"Terimah kasih. Kau anak yang baik,"
"Apakah aku bermimpi?"
"Tidak, kawan kau tidak sedang bermimpi. Aku memang bisa berbicara, siapa namamu kawan?"
"Danu, panggil Danu." ucap Danu
"Lalu apa yang kau lakukan di hutan ini. Sendirian?" tanya Ayam jantan itu

"Aku sedang mencari kayu bakar." jawab Danu

"pergilan ke arah utara Danu, di sana sangat banyak kayu bakar yang kering,"
"Terimah kasih, kalau begitu aku jalan dulu."
"Berhati-hatilah kawan."

Danu menuju ke arah utara seperti yang dikatakan oleh Ayam tadi. Dan memang benar perkataan ayam tadi setelah menyusuri hutan yang bagian utara Danu menemukan banyak sekali kayu bakar. Danu tersenyum puas melihat kayu yang berserakah di mana-mana.
Tak mau membuang-buang waktu Danu segera memunguti kayu-kayu bakar tersebut.

***

"Assalamualaikum, bu"
Setelah meletakkan kayu bakar di samping rumah sederhananya itu Danu langsung masuk dalam rumah.

"Waalaikumsalam, sudah pulang nak" jawab Sumina, Danu langsung meraih punggung tangan ibunya itu lalu menciumnya.
"Sini, nak makan dulu." suminah memberikan piring untuk anaknya itu
"Maaf nak, lauknya hanya garam. Ibu belum mempunyai uang hanya sekedar untuk membeli tempe atau telor," ucap Sumina dengan wajah yang sedih serta merasa kecewa. Anaknya baru saja pulang dari mencari kayu bakar, namun hanya mendapat hidangan yang amat buruk.

Danu tersenyum menatap Ibunya itu. Lalu mengisi nasi ke piringnya.
"Tidak apa-apa bu, ini lebih dari cukup dengan mendapat kasih sayang yang luar biasa banyak dari ibu. Danu sangat senang dan bersyukur mempunyai seorang ibu yang sangat sayang kepada anak-anaknya." ujar Danu mantap
Mata Sumina berkaca-kaca mendengar penuturan anak sulungnya itu, sungguh bahagia rasanya memiliki seorang anak yang seperti Danu.

Danu memakan nasi yang ada di piringnya beserta garam guna untuk mengurangi rasa hambar pada nasinya itu. Danu memakan makanannya dengan sangat lahap, Prinsip Danu masakan dari Ibunya itu adalah masakan ter enak yang ada di dunia ini.
Sekurang apapun yang kau miliki jika kau mensyukurinya, maka semuanya akan terasa nikmat dan terpenuhi.
***
"Danu, ajaklah Dania bermain ya, Ibu ke pasar dulu untuk mendagangkan kayu bakar kamu." ucap Sumina
Lalu keluar rumah yang diikuti Danu dan Dania di belakangya.
"Danu ... Tumben sekali kayu yang kamu dapatkan sebanyak ini. Kita bisa mendapatkan uang 20 ribu hari ini kalau kayunya sebanyak ini," ucap Sumina dengan berbinar
"Iyya, bu rezeki hari ini lumayan bu."
Sumina mengangkat kayu bakar tersebut
"Ibu berangkat dulu, nak. Dania jangan nakal yah"
"Iyya bu," jawab Dania dan Danu

Sumina pun berangkat menuju pasar untung mendagangkan kayu bakarnya.

Ceritanya singkat bat ya😂

Tapi, semoga ada yang dapat dipetik dari cerita singkat tersebut. Ini sangat cocok dibaca anak-anak agar bisa meneladani sifat dari anak yang bernama Danu.

"Sesederhana baagaimanapun yang kau miliki jika kau bersyukur maka kau akan terus merasa tercukupi."

Mohon krisarnya, entahlah tiba-tiba jadi pengen menjadi penulis cerita anak.